“ The truth and the goodness might not be the same with what the majority believe or the loudest voice ”
Dalam tulisan St Kartono Guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta pada Kompas yang juga di muat pada situs Sampoerna Foundation ditulis sebagai berikut.
Menurut Edgar Morin (2006) tentang sekolah bahwa kelas harus menjadi sebuah tempat untuk para siswa belajar tentang aturan-aturan debat atau diskusi yang sportif. Sekolah menjadi laboratorium kehidupan demokratis secara praktis dan konkret. Di sana mesti ditumbuhkan kesadaran akan kebutuhan-kebutuhan dan prosedur untuk memahami pikiran orang lain, mendengar dan menghormati suara minoritas dan suara-suara yang berbeda. Belajar memahami sesama haruslah menjadi anasir utama dalam belajar demokrasi. Menghargai pihak lain adalah kata kunci demokrasi.
Anak-anak kita di kelas boleh "berkelahi", adu pikiran. Mereka sangat mungkin menjadi pemikir yang jernih, tetapi sebaliknya bisa fanatik membabi buta. Yang bisa dilakukan guru adalah menggerakkan hati mereka untuk terbuka dan menghormati keberadaan pihak lain. Sadar atau tidak, proses pendidikan bangsa ini berpuluh tahun menguasai cara berpikir anak dengan kolektivisasi lewat penyeragaman. Cara ini mengubah pribadi kreatif jadi penurut dan tak biasa akan perbedaan.
Mulai dari TK sampai SLTA segalanya diseragamkan. Baju sekolah, kaus kaki, sepatu, rambut, dan buku tulis mesti sama. Pater Drost mengingatkan bahwa setiap penyeragaman berarti pemenggalan. Sama rasa sama rata, semua kepala dipenggal, yang tinggal hanya mayat. Anak-anak kita terbentuk menjadi pribadi yang tidak biasa mendengarkan suara orang lain. Mereka kini diajari untuk segala pengambilan keputusan dengan voting atau suara terbanyak. Ada bahayanya, mereka suka mengatasnamakan suara terbanyak, sambil melupakan bahwa kebenaran dan kebaikan tidak sama dengan yang dianut oleh suara terbanyak atau suara terkeras.
Sekarang, setelah kita baca tulisan tersebut, kita masing masing bisa mengambil kesimpulan kan …???
0 komentar:
Post a Comment